Upaya Menyelatkan Diri Dari Riba
AGAR TIDAK TERJERAT RIBA
Upaya Menyelamatkan Diri dari Riba
1. Bertakwa kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata, “Takwa adalah takut kepada Dzat Yang Maha mulia, beramal dengan wahyu, merasa cukup (qana’ah) dengan yang sedikit, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari akhir.” Oleh karena itu, bagaimanapun sulitnya urusan kita, dengan takwa akan datang jalan keluarnya, bukan dengan muamalah riba. Allah Ta’ala berfirman.
قال الله تعالى: ﴿ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ ﴾ [ الطلاق: 2]
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah , niscaya Dia akan memberikan jalan keluar.” [ath-Thalaq/65: 2]
Dengan sebab takwa pula, urusan kita menjadi mudah, sebagaimana janji Allah Shubhanahu wa ta’alla,
قال الله تعالى: وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا [ الطلاق: 4]
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” [ath-Thalaq/65: 4]
Dengan sebab takwa, kita akan bisa memilah antara yang halal dan yang haram, sebagaimana firman -Nya,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَتَّقُوا اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّكُمْ فُرْقَانًا
“Jika kamu bertakwa kepada Allah , niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan (alat pemilah).” [al-Anfal/8: 29]
Dengan sebab takwa pula, akibat yang baik pasti akan didapatkan oleh mereka yang bertakwa, sebagaimana berita dari Allah Shubhanahu wa ta’alla ,
قال الله تعالى: تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ [ القصص: 83 ]
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di(muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [al-Qashash/28: 83]
Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam menasihati kita untuk bertakwa dalam urusan harta pada khususnya. Dalam hadits Abi Sa’id al-Khudri, Rasulullah Shalallah u’alaihi wa sallam bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ » [ رواه مسلم ]
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (enak rasanya dan menyenangkan tatakala dipandang), dan sungguh Allah menjadikan kalian silih berganti atasnya. Kemudian Dia akan melihat bagaimana kalian akan beramal (dengan dunia itu). Oleh karena itu, hati-hatilah kalian terhadap urusan dunia dan wanita, karen awal petaka yang menimpa Bani Israil adalah dalam hal wanita.”( HR.Muslim)
2. Kesabaran menghadapi problematika kehidupan
Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan hikmah dan keadilan-Nya yang sempurna menjadikan dunia sebagai medan ujian dan cobaan.
قال الله تعالى: ﴿ وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ﴾ [ البقرة: 155 ]
“Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” [al- Baqarah/2: 155]
3. Zuhud dan wara’ terhadap dunia.
Ibnul Qayyim menukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak memberi manfaat di akhirat. Adapun wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang engkau khawatirkan akan menyusahkan atau merugikan di akhirat.”[1]
Allah Shubhanahu wa ta’alla mengabarkan kepada para hamba -Nya tentang hakikat kehidupan dunia,
قال الله تعالى: ﴿وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ١٨٥﴾ [ آل عمران: 185]
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” [Ali‘Imran/3: 185]
Rasulullah Shalallah u’alaihi wa sallam bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ، هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: وَاللهِ، يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ، هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: وَاللهِ، يَا رَبِّ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ وَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ » [ رواه مسلم ]
“Pada hari kiamat akan didatang kan seorang yang paling nikmat kehidupannya didunia dan dia termasuk calon penghuni neraka. Dia dicelupkan kedalam neraka dengan satu kali celupan lalu ditanya, ‘Wahai anak Adam apakah kamu pernah melihat kebaikan (walaupun sedikit)?Apakah pernah terlintas kenikmatan kepadamu (walaupun sedikit)?’ Dia menjawab,‘Tidak, demi Allah wahai Rabb!’Didatangkan pula seorang yang paling susah kehidupannya di dunia Dan dia termasuk calon penghuni surga. Dia dicelupkan sekali celupan didalam surga, lalu ditanya,‘Wahai anak Adam, pernahkah engkau merasakan kesusahan (walaupun sedikit)? Pernahkah engkau melewati kesulitan walaupun sedikit?’Dia menjawab,‘Tidak, demi Allah, tidak pernah lewat satu kesusahan pun dan aku tidak pernah merasakan suatu kesulitan’.” (HR. Muslim)
Tatkala menghadap Allah Shubhanahu wa ta’alla kelak, kita tidak membawa harta yang kita miliki di dunia. Harta justru bisa mempersulit kita ketika dimintai pertanggung jawaban di hadapan -Nya. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman, “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan didunia itu).” [at-Takatsur/102: 8]
Rasulullah Shalallah u’alaihi wa sallam bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَ ثَالٌ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ » [متفق عليه]
“Ada tiga pihak yang ikut mengantarkan jenazah: keluarga, harta, dan anaknya. Dua pihak akan kembali, dan yang satu akan tinggal bersamanya. Keluarga dan hartanya akan kembali, sedangkan yang tinggal bersamanya adalah amalnya.” (Muttafaqun‘alaih dari Anas bin Malik )
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin berkata, “Sabar terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla maknanya adalah menahan diri dari segala sesuatu yang telah diharamkan-Nya.
Hal ini membutuhkan kesabaran karena jiwa itu cenderung kepada yang buruk, mengajak kepada hal-hal yang buruk pula. Oleh karena itu, seseorang harus berusaha menahan dirinya dari berdusta dan bermuamalah dengan memakan harta dengan cara yang batil, seperti riba atau lainnya, dan (menahan diri) dari perbuatan zina, minum khamr, mencuri, dan sebagainya.”[2]
4. Qana’ah
Qana’ah adalah seorang hamba menerima atau merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla kepada dirinya. Rasulullah Shalallah u’alaihi wa sallam memuji sifat yang mulia ini,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ» [ رواه مسلم ]
“Sungguh bahagia orang yang masuk Islam dan dikaruniai rizeki yang cukup, serta Allah Shubhanahu wa ta’alla menjadikannya merasa cukup dengan apa yang Dia telah karuniakan kepadanya.”(HR. Muslim dari Ibnu Umar)
Dengan qana’ah, seorang muslim akan selamat dari perbudakan harta dan dunia. Dia akan selamat dari penyakit rakus dan serakah sehingga selamat dari berbagai jebakan dan jeratan riba.
5. Mencari rezeki yang halal dengan cara yang halal.
Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan hamba -Nya untuk mencari rezeki dan keutamaan dari -Nya. Sebagaimana firman-Nya,
قال الله تعالى: ﴿ فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠ ﴾ [ الجمعة : 10 ]
“Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu dimuka bumi; dan carilah karunia Allah , dan seringlah mengingat Allah supaya kamu beruntung.”[al-Jumu’ah/62: 10]
Dari al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu anhu, dari Nabi bersabda (yang artinya), “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil jerih payahnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud senantiasa makan dari jerih payahnya sendiri.” (HR. al-Bukhari)
Cara ini akan memudahkan pertanggungjawaban seorang hamba di hadapan Allah Shubhanahu wa ta’alla pada hari kiamat. Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلاه» [ رواه الترمذي ]
“Tidak akan bergeser kedua telapak kakinya seorang hamba nanti pada Hari kiamat sampai dia ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan,tentang ilmunya pada apa dia amalkan,tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan untuk apa dia belanjakan, serta tentang badannya pada perkara apa dia pergunakan.” (HR. at-Tirmidzi)
6. Kepedulian dan bantuan orang-orang kaya.
Harta adalah nikmat dari Allah Shubhanahu wa ta’alla yang harus disyukuri. Di antara wujud rasa syukur seorang hamba yang diberi limpahan materi adalah membantu saudaranya dengan pinjaman tanpa riba. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢ ﴾ [ المائدة: 2 ]
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, serta jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah ,sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” [al-Maidah/5: 2]
Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَا خْآلِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَا خْآلِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ» [ رواه مسلم ]
“Barang siapa menghilangkan atau meringankan kesusahan seorang mukmin dari berbagai kesusahan dunia, niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan menghilangkan atau meringankan kesusahannya nanti pada hari kiamat. Barang siapa memudahkan urusan orang yang dalam kesulitan, niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat; dan barang siapa menutupi kekurangan seorang muslim, niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan menutupi kekurangannya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut membantu saudaranya.” (HR. Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Rajab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Keringanan yang diberikan kepada orang yang tertimpa kesulitan terwujud dengan dua hal.
(1). Memberi kelonggaran waktu sampai mendapatkan kemudahan (untuk melunasinya) dan hal itu adalah wajib (hukumnya) sebagaimana firman Allah Ta’ala :
قال الله تعالى: ﴿ وَإِن كَانَ ذُو عُسۡرَةٖ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيۡسَرَةٖۚ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٨٠ ﴾ [ البقرة : 280 ]
“Jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”[al-Baqarah/2: 280]
(2). Merelakan tanggungan tersebut darinya apabila dia adalah orang yang mengutangi. Kalau tidak demikian, dengan cara memberi sesuatu yang bisa digunakan untuk melunasi utangnya; dan keduanya adalah keutamaan yang agung.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/289)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Ada seorang pedagang yang suka memberikan pinjaman (utang) kepada orang lain. Apabila dia melihat ada orang yang kesulitan ( melunasi utangnya),dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Relakanlah tanggungannya, mudah mudahan Allah Shubhanahu wa ta’alla mengampuni dosa dosa kita.’ Allah Shubhanahu wa ta’alla pun mengampuni dosa-dosanya.” (Muttafaqun‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)
Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda pula (yang artinya), “Barang siapa memberi kelonggaran atau merelakan tanggungan seorang yang dalam kesulitan, niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan menaunginya dinaungan (Arsy-Nya) pada hari yang tidak ada naungan selain naungan (Arsy-Nya).” (HR. Muslim)
Rasulullah Shubhanahu wa ta’alla juga bersabda (yang artinya), “Pada hari kiamat nanti, Allah Shubhanahu wa ta’alla akan mendatangkan salah seorang hamba -Nya lalu bertanya, ‘Apa yang engkau amalkan karena -Ku ketika hidup di dunia?’Dia menjawab,‘Aku tidak beramal di dunia melainkan karena -Mu, wahai Rabb, walaupun sebiji sawi yang aku harapkan (pahala dengannya),’ dia mengucapkan tiga kali. Hamba tersebut akhirnya berkata,‘Wahai Rabb, sesungguhnya Engkau telah mengaruniakan harta yang banyak kepadaku dan aku adalah orang yang melakukan jual beli dengan orang-orang. Diantara akhlakku adalah suka merelakan (mengikhlaskan). Aku biasa memberi Kelonggaran orang yang kesulitan dan memberikan tangguh kepada orang yang dalam kesulitan.”
Rasulullah Shalallah u’alaihi wa sallam bersabda, Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman, “Aku lebih berhak untuk memberikan kemudahan, (maka) masuklah kesurga!” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Akhirnya,
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَ مُتَقَبَّل
“Ya Allah , sesungguhnya kami memohon kepada -Mu ilmu yang Bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima.”
Amin, ya Rabbal ‘alamin.
[Disalin dari حتى لا تقع في الربا (Agar Tidak Terjerat Riba). Penulis Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2013 – 1434]
_______
Footnote
[1] Madarijus Salikin, hlm. 283
[2] (Syarh Riyadhush Shalihin, 1/62-63)
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/95660-upaya-menyelatkan-diri-dari-riba.html